Last Day With You

Last Day With You

Oleh   : Naflah Zahra’ Husnia | Kelas  : X-5


Kriiiiiing….!

Suara alarm yang bising itu membangunkan Reva dari tidurnya. Reva beranjak menggambil jam weker itu lalu melemparnya sekuat tenaga. Ini adalah rutinitas setiap pagi harinya. Jam weker hanya akan berhenti berbunyi setelah dia lempar. Anehnya, jam weker itu masih pada bentuk asalnya meskipun Reva melemparnya setiap hari.

Tok..tok…tok… terdengar ketukan pintu. Reva pun segera menghampiri pintu kamarnya, lalu dia membuka pintu dan mendapati kakaknya, Vian ada di depan pintu.

“Ada apa kak?” tanya Reva.

“Ayo cepat, jangan buang-buang waktu. Bersiap-siaplah.” kata Vian. Setelah itu dia pergi meninggalkan Reva yang kebingungan.

Reva berfikir sejenak, hari ini adalah hari Minggu, hari libur. Untuk apa harus bersiap. Setelah cukup lama berdiam diri, ia mengejar kakaknya.

“Kak, bukannya ini hari Minggu ya? Kenapa aku harus bersiap?” Reva meminta penjelasan.

“Iya, hari ini hari Minggu. Bukannya kemarin kamu minta buat jalan-jalan berdua sama kakak?”

Benar, Reva baru mengingat permintaannya kemarin. Dia melihat ke arah kakaknya. Mereka bertatapan sejenak, lalu akhirnya Reva berlari ke kamarnya. Reva segera menyiapkan pakaian dan siap pergi mandi. Di saat dia sedang menyiapkan pakaian. Reva mendengar suara pintu terbuka.

“Apa yang kamu lakuin Reva? Kenapa buru-buru dan berantakan sekali?” kata orang yang baru saja memasuki kamar Reva.

Reva berbalik. Seseorang itu adalah perawat yang biasa bertugas di pagi hari untuk menggecek keadaannya dan membawakan obat baru untuknya.

“Hari ini aku dan kakakku akan pergi jalan berdua. Aku sudah mencatat kemana saja kami berdua akan pergi,” jawab Reva bersemangat.

Berbeda denga Reva yang bersemangat sambil menyiapkan barang-barang yang sekiranya akan dia gunaka selama perjalanan. Perawat itu nampak sedikit kebingungan.

“Oh, benarkah. Kemana saja kamu akan pergi? Dimana kakakmu?” tanya perawat sambil beranjak mengambil jam weker yang Reva lempar di pojok ruangan.

“Aku ingin pergi ke taman bermain dan alun-alun kota,” jawab Reva. “Kakak… mungkin sedang meminta izin dari dokter dan orang tuaku,” sambungnya.

Setelah menjawab, Reva bergegas ke kamar mandi. Perawat melihatnya sambil tersenyum.

Perawat yang memakai tag name Ria, membereskan tempat tidur dan beberapa baju serta benda-benda lainnya yang berserakan. Perawat itu menaruh obat-obatan rutin Reva di meja samping tempat tidur dan pergi keluar setelah selesai.

Di luar kamar, perawat Ria berpapasan dengan dokter yang merawat Reva.

“Bagaimana kondisinya?” tanya Dokter Louis kepada Perawat Ria.

“Dok, kakaknya…” ucap perawat Ria yang terhenti.

Seperti memahami keadaan, Dokter Louis tersenyum dan pergi keruangannya. Dokter Louis mengambil beberapa kertas, memakai jam tanggan, menganti sepatu dan jas dokternya. Saat keluar, Dokter Louis memberi kertas dari ruangannya kepada Perawat Ria.

“Reva, apa kamu sudah siap? Kakak sudah menunggu daritadi.” Reva yang mendengar itu dari dalam kamar mandi segera keluar sambil berkata. “Aku siap, tunggu sebentar lagi.”

Sosok itu melihat gadis kecil yang sibuk dengan dirinya sendiri tidak sadar tersenyum haru. Reva, gadis berusia 14 tahun yang polos harus terjebak dirumah sakit sejak usia 11 tahun karena suatu alasan.

“Aku sudah siap kak, kita akan pergi kemana dulu?” tanya Reva bersemangat.

“Ayo pergi ke taman bermain, bagaimana?” tanya Vian.

“Mau banget, aku udah kangen main sama kakak,” jawab Reva sambil menunjukkan senyuman manisnya.

Mereka melangkah bersama keluar dari rumah sakit. Menaiki mobil Vian. Mereka segera menuju ke taman bermain sesuai kesepakatan.

Saat mereka sampai ke taman bermain, Reva sangat bahagia. Vian menemani Reva bermain hingga dia puas. Mereka bersenang- senang disana. Hingga siang hari mereka menghabiskan waktu untuk bermain.

“Reva, sudah waktunya makan siang. Mau makan apa?” tanya Vian kepada adiknya.

“Aku mau makan apa saja asalkan sama kakak,” jawab Reva yang membuat Vian tersenyum.

Mereka makan siang di restoran Seafood kesukaan Reva dan ibu mereka. Memesan beberapa menu dan menunggu di meja sambil berbincang.

“Kamu mau kita kemana lagi setelah ini? Masih ada banyak waktu sebelum malam,” ucap Vian.

“Kalau ke alun-alun kota boleh kak? Aku sudah lama tidak kesana,” tanya Reva balik.

“Kemana aja yang kamu mau sayang,” Vian menyugar rambut Reva dengan lembut.

Sesaat makanan pesanan mereka datang dan memakan dengan nikmat. Setelah itu mereka menuju ke Alun-alun kota untuk duduk dan menikmati hari yang sudah mulai gelap. Reva melamun dan sibuk dengan pikirannya sendiri. Ada beberapa pertanyaan yang tiba-tiba muncul dipikirannya.

“Kak, aku bingung apa ini hanya hayalanku atau bukan. Kenapa aku pikir kalau kakak dan ibu ayah sudah meninggalkanku,” Reva tiba-tiba bersuara.

Vian terdiam. Ucapan adiknya membuatnya terkejut. Sebelum menjawab, dia tersenyum kecil dan menatap adik kesayangannya. “Kalau kamu mau tau, kakak akan jawab setelah kita kembali ke rumah sakit.”

Merasa jawaban kakaknya cukup, dan dia juga pikir pertanyaannya adalah hal aneh. Jelas, jika kakaknya meninggalkan dia lalu siapa orang yang ada di sampingnya dan menemaninya dari tadi.

Menjelang malam, mereka mampir ke warung makan kecil untuk makan malam. Mereka makan dan membungkus beberapa untuk perawat lain di rumah sakit. Sehabis makan mereka pergi dan kembali ke rumah sakit.

Di parkiran rumah sakit, terlihat Perawat Ria sudah menunggu mereka pulang. Melihat mobil Vian kembali, Perawat Ria tersenyum lega. “Kenapa kalian pulang telat? Ini sudah hampir larut malam.”

Reva tertawa pelan lalu berlari menuju kamarnya. Vian dan Perawat Ria menyusulnya sambil memanggil namanya. “Reva… Hati-Hati…” ucap mereka berdua sambil berlari.

Dokter Louis masuk ke kamar Reva dan itu membuatnya terkejut. Reva tersenyum dan tertawa keras hingga terdengar oleh Perawat Ria di luar kamar. “Hari ini seru sekali kan kak… aku harap Dokter lebih sering mengizinkanku keluar,” ucap Reva sambil melepas sepatunya.

“Reva, waktunya minum obat!” Mendengar itu Reva cemberut. “Kenapa aku harus selalu minum obat.” Ya… selalu, walau tidak senang Reva tetap meminum obatnya.

“Dokter, kak Ria… kakakku dimana? Bukannya tadi dia disini?” Reva kebingungan mencari kakaknya.

Ria dan Louis tersenyum melihat Reva kebingungan.

“Reva, kakakmu tidak pernah ada di sini…”

Reva kehilangan senyumannya, menaiki tempat tidur dan memalingkan wajah dari kedua orang di dalam ruangan itu.

Dokter dan perawat itu berjalan keluar dan menutup pintu. Memegang kertas bertuliskan ‘Positif Skizofrenia

“Kamu harus lebih mengawasinya. Dia masih belum bisa menerima bahwa keluarganya telah tiada.”

“Tentu, dok. Aku juga khawatir dia pergi dari sini karena halusinasinya. Kami akan lebih mengawasinya.”

Kriiiiiing….!

Suara alarm yang bising itu membangunkan Reva dari tidurnya. Reva beranjak menggambil jam weker itu lalu melemparnya sekuat tenaga. Ini adalah rutinitas setiap pagi harinya. Jam weker hanya akan berhenti berbunyi setelah dia lempar. Anehnya, jam weker itu masih pada bentuk asalnya meskipun Reva melemparnya setiap hari.

Tok..tok…tok… terdengar ketukan pintu. Reva pun segera menghampiri pintu kamarnya, lalu dia membuka pintu dan mendapati kakaknya, Vian ada di depan pintu.

“Ada apa kak?” tanya Reva.

“Ayo cepat, jangan buang-buang waktu. Bersiap-siaplah.” kata Vian. Setelah itu dia pergi meninggalkan Reva yang kebingungan.

Reva berfikir sejenak, hari ini adalah hari Minggu, hari libur. Untuk apa harus bersiap. Setelah cukup lama berdiam diri, ia mengejar kakaknya.

“Kak, bukannya ini hari Minggu ya? Kenapa aku harus bersiap?” Reva meminta penjelasan.

“Iya, hari ini hari Minggu. Bukannya kemarin kamu minta buat jalan-jalan berdua sama kakak?”

Benar, Reva baru mengingat permintaannya kemarin. Dia melihat ke arah kakaknya. Mereka bertatapan sejenak, lalu akhirnya Reva berlari ke kamarnya. Reva segera menyiapkan pakaian dan siap pergi mandi. Di saat dia sedang menyiapkan pakaian. Reva mendengar suara pintu terbuka.

“Apa yang kamu lakuin Reva? Kenapa buru-buru dan berantakan sekali?” kata orang yang baru saja memasuki kamar Reva.

Reva berbalik. Seseorang itu adalah perawat yang biasa bertugas di pagi hari untuk menggecek keadaannya dan membawakan obat baru untuknya.

“Hari ini aku dan kakakku akan pergi jalan berdua. Aku sudah mencatat kemana saja kami berdua akan pergi,” jawab Reva bersemangat.

Berbeda dengan Reva yang bersemangat sambil menyiapkan barang-barang yang sekiranya akan dia gunakan selama perjalanan. Perawat itu nampak sedikit kebingungan.

“Oh, benarkah. Kemana saja kamu akan pergi? Dimana kakakmu?” tanya perawat sambil beranjak mengambil jam weker yang Reva lempar di pojok ruangan.

“Aku ingin pergi ke taman bermain dan alun-alun kota,” jawab Reva. “Kakak… mungkin sedang meminta izin dari dokter dan orang tuaku.” Sambungnya.

Setelah menjawab, Reva bergegas ke kamar mandi. Perawat melihatnya sambil tersenyum.

Perawat yang memakai tag name Ria, membereskan tempat tidur dan beberapa baju serta benda-benda lainnya yang berserakan. Perawat itu menaruh obat-obatan rutin Reva di meja samping tempat tidur dan pergi keluar setelah selesai.

Di luar kamar, Perawat Ria berpapasan dengan dokter yang merawat Reva.

“Bagaimana kondisinya?” tanya Dokter Louis kepada Perawat Ria.

“Dok, kakaknya…” ucap perawat Ria yang terhenti.

Seperti memahami keadaan, Dokter Louis tersenyum dan pergi keruangannya. Dokter Louis mengambil beberapa kertas, memakai jam tanggan, menganti sepatu dan jas dokternya. Saat keluar, Dokter Louis memberi kertas dari ruangannya kepada Perawat Ria.

“Reva, apa kamu sudah siap? Kakak sudah menunggu daritadi.” Reva yang mendengar itu dari dalam kamar mandi segera keluar sambil berkata. “Aku siap, tunggu sebentar lagi.”

Sosok itu melihat gadis kecil yang sibuk dengan dirinya sendiri tidak sadar tersenyum haru. Reva, gadis berusia 14 tahun yang polos harus terjebak dirumah sakit sejak usia 11 tahun karena suatu alasan.

“Aku sudah siap kak, kita akan pergi kemana dulu?” tanya Reva bersemangat.

“Ayo pergi ke taman bermain, bagaimana?” tanya Vian.

“Mau banget, aku udah kangen main sama kakak,” jawab Reva sambil menunjukkan senyuman manisnya.

Mereka melangkah bersama keluar dari rumah sakit. Menaiki mobil Vian. Mereka segera menuju ke taman bermain sesuai kesepakatan.

Saat mereka sampai ke taman bermain, Reva sangat bahagia. Vian menemani Reva bermain hingga dia puas. Mereka bersenang- senang disana. Hingga siang hari mereka menghabiskan waktu untuk bermain.

“Reva, sudah waktunya makan siang. Mau makan apa?” tanya Vian kepada adiknya.

“Aku mau makan apa saja asalkan sama kakak,” jawab Reva yang membuat Vian tersenyum.

Mereka makan siang di restoran Seafood kesukaan Reva dan ibu mereka. Memesan beberapa menu dan menunggu di meja sambil berbincang.

“Kamu mau kita kemana lagi setelah ini? Masih ada banyak waktu sebelum malam” ucap Vian.

“Kalau ke alun-alun kota boleh kak? Aku sudah lama tidak kesana” tanya Reva balik.

“Kemana aja yang kamu mau sayang.” Vian menyugar rambut Reva dengan lembut.

Sesaat makanan pesanan mereka datang dan memakan dengan nikmat. Setelah itu mereka menuju ke Alun-alun kota untuk duduk dan menikmati hari yang sudah mulai gelap. Reva melamun dan sibuk dengan pikirannya sendiri. Ada beberapa pertanyaan yang tiba-tiba muncul dipikirannya.

“Kak, aku bingung apa ini hanya hayalanku atau bukan. Kenapa aku pikir kalau kakak dan ibu ayah sudah meninggalkanku,” Reva tiba-tiba bersuara.

Vian terdiam. Ucapan adiknya membuatnya terkejut. Sebelum menjawab, dia tersenyum kecil dan menatap adik kesayangannya. “Kalau kamu mau tau, kakak akan jawab setelah kita kembali ke rumah sakit.”

Merasa jawaban kakaknya cukup, dan dia juga pikir pertanyaannya adalah hal aneh. Jelas, jika kakaknya meninggalkan dia lalu siapa orang yang ada di sampingnya dan menemaninya dari tadi.

Menjelang malam, mereka mampir ke warung makan kecil untuk makan malam. Mereka makan dan membungkus beberapa untuk perawat lain di rumah sakit. Sehabis makan mereka pergi dan kembali ke rumah sakit.

Di parkiran rumah sakit, terlihat Perawat Ria sudah menunggu mereka pulang. Melihat mobil Vian kembali, Perawat Ria tersenyum lega. “Kenapa kalian pulang telat? Ini sudah hampir larut malam.”

Reva tertawa pelan lalu berlari menuju kamarnya. Vian dan Perawat Ria menyusulnya sambil memanggil namanya. “Reva… Hati-Hati…” ucap mereka berdua sambil berlari.

Dokter Louis masuk ke kamar Reva dan itu membuatnya terkejut. Reva tersenyum dan tertawa keras hingga terdengar oleh Perawat Ria di luar kamar. “Hari ini seru sekali kan kak… aku harap Dokter lebih sering mengizinkanku keluar,” ucap Reva sambil melepas sepatunya.

“Reva, waktunya minum obat!” Mendengar itu Reva cemberut. “Kenapa aku harus selalu minum obat.” Ya… selalu, walau tidak senang Reva tetap meminum obatnya.

“Dokter, kak Ria… kakakku dimana? Bukannya tadi dia disini?” Reva kebingungan mencari kakaknya.

Ria dan Louis tersenyum melihat Reva kebingungan.

“Reva, kakakmu tidak pernah ada di sini…”

Reva kehilangan senyumannya, menaiki tempat tidur dan memalingkan wajah dari kedua orang di dalam ruangan itu.

Dokter dan perawat itu berjalan keluar dan menutup pintu. Memegang kertas bertuliskan ‘Positif Skizofrenia

“Kamu harus lebih mengawasinya. Dia masih belum bisa menerima bahwa keluarganya telah tiada.”

“Tentu, dok. Aku juga khawatir dia pergi dari sini karena halusinasinya. Kami akan lebih mengawasinya.”

Surga bersuka cita sewaktu kamu ditakdirkan untuk lahir ke dunia, Reva. [*]